Generasi Alpha ini kemudian juga menjadi target baru bagi marketers. Bukan target secara langsung, melainkan lewat perantara orang tuanya yakni para Milenial. Generasi Alpha masih terlalu kecil untuk terekspos dalam skema marketing dalam sosial media, dan mereka belum mampu melakukan transaksi pembelian. Oleh karena itu barang-barang seperti mainan, makanan bayi, pakaian, dan gadget balita coba dipasarkan oleh marketers kepada orang tua untuk kemudian dibelikan kepada anak-anaknya, yakni generasi Alpha. Marketers mulai menganalisa apa yang ingin mereka cari. Apakah kemasan yang lebih menarik, lebih terlihat simple dan minimalis, adanya opsi organik, dan dapat dibeli dan diperoleh secara online.
Kalau kita perhatikan sekarang, anak-anak generasi Alpha inipun sudah mulai tercemplung kedalam dunia sosial media. Banyak diantara anak-anak ini yang sudah memiliki akun sosial media. Contohnya adalah Ryan Kaji, seorang Youtuber berumur 9 tahun yang memiliki 29,9 juta subscribers. Ryan Kaji berhasil mengumpulkan uang sebanyak hampir US$30 juta atau Rp420 miliar dalam setahun lewat konten “unboxing”, serta mengulas mainan dan game di YouTube.
Dengan adanya pengaruh anak-anak ini mulai memasuki sosial media, dan ditambah peran orang tuanya yang berusaha memenuhi seluruh kebutuhan anak-anaknya, standard dan selera mereka akan sebuah produk atau brand pun perlahan berubah. Anak generasi Alpha ini lebih memiliki selera yang mirip dengan selera orang tua Milenial, tidak seperti Gen Z. Merk atau brand itu perlahan menjadi pertimbangan utama dalam pembelian suatu produk, sedangkan manfaat dari produk tersebut tidak terlalu diperhatikan lagi. Terkadang produk tersebut dibeli hanya untuk mengekspresikan gaya individual mereka dan, pada akhirnya, mengembangkan selera anak mereka. Hal ini menyebabkan munculnya fenomena “trickle-down effect”, dimana dalam pemasaran fenomena ini mengacu pada bagaimana tren mode mengalir dari kelas atas ke kelas bawah di masyarakat. Trickle-down effect ini adalah pertanda dari adanya sikap konsumerisme dalam generasi Alpha. Mereka memang bukan kelompok anak-anak pertama yang menjadi sasaran media massa. Namun, generasi Alpha adalah generasi pertama yang menghuni dunia merk digital yang melimpah, dimana ditandai dengan brand yang memperhatikan mereka sejak mereka lahir.
So, apa alasan utama mengapa marketers begitu tertarik pada para Millennial parents dan anak-anaknya yakni generasi Alpha? Mereka mulai menyadari bahwa generasi Milenial akan memiliki kekuatan konsumen terbesar di dunia, dibandingkan dengan semua kelompok usia lainnya, dan mereka memiliki pengaruh yang besar terhadap pemilihan barang yang dipakai anak-anaknya yakni generasi Alpha. Walaupun karakteristik generasi Alpha sebagian besar masih belum diketahui, namun bagaimana mereka akan dibesarkan ini dapat direfleksikan dari data tentang orang tuanya yakni para Milenial. Hal ini diperkuat dengan pendapat Dretsch, seorang marketing professor, bahwa anak-anak sudah mampu mengembangkan asosiasi merek dalam pikiran mereka sejak usia 3 tahun. Apa pun yang diekspos orang tua kepada anak, semakin sering mereka akan mengidentifikasikan diri dengan merek itu bahkan sejak usia yang sangat muda, akan menimbulkan koneksi yang timbul secara alami tanpa disadari di dalam diri anak tersebut.
Jadi, apa tanggapanmu soal target marketing baru yakni generasi Alpha?